Sekitar 10 tahun yang lalu, saya pergi ke sebuah toko pakaian untuk membeli sepasang celana jeans. Saya cenderung memakai celana jeans sampai mereka benar-benar “belel” dan tidak bisa dipakai lagi. Jadi, sudah cukup lama sejak pembelian celana jeans terakhir saya. Seorang pelayan toko berjalan ke arah saya dan menanyakan apakah ada yang bisa dia bantu. Saya pun berkata, ”Saya mau sepasang celana jeans ukuran 32”. Dia membalas, “Apakah anda mau potongan celana jeans yang slim fit, easy fit, relaxed fit, baggy, atau extra baggy?”. Anda mau celana jeans yang raw, washed, atau selvedge? Mau yang pakai kancing atau rel sleting? Warna biru, hitam, atau abu?”
Saya tercengang. Beberapa saat kemudian, saya dengan terbata-bata membalas, ”Saya hanya ingin celana jeans yang biasa. 1 jenis yang sudah ada sejak dahulu. Ternyata si pelayan toko tidak mengetahui celana jeans mana yang saya maksud, tetapi setelah bertanya pada pelayan toko yang lebih senior, dia dapat mengerti celana jeans “biasa” mana yang saya maksud, dan dia mengarahkan saya ke rak celana jeans “biasa” tersebut.
Masalahnya adalah dengan sebegitu banyaknya pilihan yang tersedia untuk saya sekarang, saya tak lagi yakin bahwa celana jeans “biasa” tersebut adalah yang saya inginkan. Mungkin easy fit atau relaxed fit lebih nyaman untuk dipakai. Setelah agak lama menimbang-nimbang , saya pun memutuskan untuk mencoba semua jenis celana jeans yang mungkin akan cocok dengan bentuk tubuh saya, dibantu rekomendasi dan arahan dari si pelayan toko tersebut. Pada akhirnya, saya membeli celana jeans “relaxed fit” dari toko tersebut karena nyaman saat dipakai dan enak untuk dilihat.
Jeans yang saya pilih tersebut sebenarnya sudah oke, tetapi hari itu sempat terpikir kalau ritual membeli sepasang jeans tidak seharusnya selama itu. Dengan membuat pilihan yang sebegitu lengkap, tidak diragukan lagi kalau toko tersebut membantu pembeli yang memiliki selera dan bentuk tubuh yang berbeda-beda. Akan tetapi, dengan memperluas cakupan pilihan yang ada, secara tidak sadar mereka juga menambah masalah baru. Sebelum pilihan-pilihan tersebut ada, pembeli seperti saya harus puas dengan potongan jeans yang tidak tidak terlalu pas. Akan tetapi, setidaknya proses membeli sepasang jeans bisa selesai dalam waktu 5 menit. Sekarang hal tersebut merupakan pilihan yang rumit, dimana saya dipaksa untuk menginvestasikan waktu, energi, dan mengalami yang namanya keraguan, kecemasan, dan ketakutan.
Tidak dapat dipungkiri, kalau banyaknya pilihan yang ada dapat meningkatkan kualitas hidup kita. Hal tersebut memperbesar kemungkinan kita untuk bisa mendapatkan apa yang benar-benar kita inginkan dalam berbagai macam aspek kehidupan. Di sisi lain, fakta berkata bahwa beberapa pilihan itu baik, akan tetapi bukan berarti kalau ada lebih banyak pilihan, pasti lebih baik. Nah untuk itu, kali ini saya akan membagikan beberapa tips & trik untuk kita bisa benar-benar memanfaatkan pilihan-pilihan yang ada di dalam hidup kita:
Batasi opsi/pilihan yang ada
Contoh, kita bisa membuat aturan sendiri untuk mengunjungi tidak lebih dari dua toko ketika ingin berbelanja baju, atau untuk mempertimbangkan tidak lebih dari dua destinasi/tempat ketika sedang merencanakan liburan
Men-setting agar untuk beberapa pilihan, kita dapat memilihnya secara otomatis
(Kecuali jika kita benar-benar tidak puas dengan hasil pilihan kita, tetaplah berpegang pada apa yang selalu kita pilih) Dengan mematuhi aturan-aturan yang ada di lingkungan sosial (contoh: selalu memakai seat belt), secara tidak sadar kita membantu diri sendiri untuk tidak membuat keputusan yang disengaja secara berulang-ulang.
Jangan takut untuk ketinggalan dengan hal-hal yang sedang “hype” (Fear of Missing Out/FOMO)
Jangan tergoda oleh sesuatu yang baru dan sudah ditingkatkan (improved). Belajar untuk bisa mengatakan “ini sudah cukup baik”, akan menyederhanakan proses pengambilan keputusan dan meningkatkan kepuasan.
Anggaplah pilihan yang sudah kita ambil, tidak dapat dibatalkan
Apa yang suka kita tidak sadari adalah setiap pilihan yang kita anggap bisa diubah, tampaknya secara tidak langsung meningkatkan kemungkinan untuk kita akan mengubah pilihan yang sudah kita ambil tersebut.
Fokus pada apa yang membuat kita bahagia dan apa yang memberikan makna pada hidup kita
Gunakan sebagian dari waktu kita untuk mengosongkan pikiran dan bertanya pada diri sendiri, apa yang benar-benar saya inginkan dalam beberapa aspek kehidupan (aspek-aspek dimana pilihan yang akan saya ambil benar-benar krusial).
Saya harap beberapa tips tersebut dapat membantu kita ke depannya dalam respons kita terhadap pilihan-pilihan yang ada. Choice within constraints, freedom within limits, is what enables us to imagine a host of marvelous possibilities.
Sumber: The Paradox of Choice. Why More is Less (Barry Schwartz)
Oleh Teens Team