Yup! You didn’t read it wrong.
Salah satu penulis buku-buku tentang kepemimpinan menuliskan kalimat tersebut ketika ia menyimpulkan isi bukunya. Well, just like how he said it, jawaban terhadap kalimat yang cukup mengejutkan tersebut ada di akhir artikel ini. But first, let’s see how he reached that conclusion. Btw, kalau teman-teman college ingin menjadi seorang pemimpin, you should read this book, The Motive by Patrick Lencioni.
Pat melihat bahwa sebelum seseorang menemukan alasan atau motif yang benar sebagai seorang pemimpin, percuma seseorang belajar mengenai bagaimana cara untuk memimpin. Ia mengatakan bahwa, ”Don’t be a leader, unless you are doing it for the right reason.” Jika seusai perayaan kelulusan, seorang guru biasa berkata, “Jadilah seorang pemimpin.”, jangan menjadi seorang pemimpin kecuali kamu memiliki motivasi yang benar. Karena dunia tidak menjadi lebih baik melalui bertambahnya seorang pemimpin dengan alasan yang salah, memimpin untuk memperoleh sesuatu atau memimpin untuk keuntungan diri sendiri.
So, before you find the right reason and owning that reason to lead, don’t. be. a. leader!
The fact is not everyone should be a leader.
Ketika motivasi seorang pemimpin bukan untuk memperoleh sesuatu, melainkan untuk bertanggung jawab atas tugas dan kewajibannya untuk organisasi ataupun orang lain, ia memiliki motivasi yang benar dan barulah ia siap untuk belajar bagaimana caranya memimpin. Tanpa motivasi yang benar, the how to lead akan menjadi membingungkan dan membebankan bagi seorang pemimpin.
Hal ini terdengar klise, tetapi perlu diakui bahwa dalam kehidupan masyarakat dan budaya kepemimpinan di jaman ini, memimpin untuk bertanggung jawab dan melayani dipandang sebagai suatu bentuk kelemahan.
Memimpin dengan memperhatikan pengikut, memiliki tujuan untuk kepentingan organisasi, meng-upgrade kapasitas pengikut, dan tidak memikirkan kepentingan pribadi, dilihat sebagai suatu bentuk kelemahan. Or maybe I can say, memimpin seperti Yesus, compassionate and laying down his interests for others, dinilai sebagai sebuah kelemahan. But if you want to make a difference, this is the kind of leader that can change the world. If you are not ready, don’t become a leader.
Salah satu cara untuk dapat mengoreksi dan memperbaiki motivasi kita sebagai seorang pemimpin adalah dengan melihat sebuah posisi / jabatan dalam kata kerja, bukan kata benda. Ketika kita ingin menjadi, atau sudah menjadi, seorang CEO, lihatlah CEO bukan sebagai Chief Executive Officer, tetapi Chief Executing Officer. You get to execute! Ketika kita ingin menjadi seorang ayah yang baik, lihatlah kata kerja apa saja yang menggambarkan tanggung jawab seorang ayah. Pemimpin dengan motivasi yang baik tidak melihat suatu posisi dalam kondisi “being”, tetapi “doing”.
Do you want to be a CEO? Or do you want to do CEO?
It’s about how you see your job in terms of verbs.
Sesuai dengan judul artikel ini, di akhir bukunya Pat mengatakan bahwa, “This should be the end of servant-leadership.” Servant-leadership is leadership by definition. Fakta bahwa kita masih menggunakan istilah “servant leader” menunjukkan bahwa ada pemimpin dengan tipe lain. Every leader should be a servant leader, pemimpin yang bertanggung jawab dan tidak memimpin untuk kepentingan pribadi. Jika seseorang belum siap untuk memimpin seperti itu, sebaiknya jangan menjadi seorang pemimpin dulu.
So teman-teman college, be mindful if you dream about being a leader. This is true leadership. Are you ready to become a leader? The first thing to learn in leadership is the motive of a leader.
PS: you can find more gems by reading this book.
Oleh Philemon Kharis