SPOOKY HOUSE!?

Skenario 1: Pulang dari kantor malam-malam, badan capek dan kepanasan di jalanan macet, parkir mobil di parkir basement apartemen. Waktu parkir, lampu di apartemen tiba-tiba menyala sendiri, PC menyala sendiri, A/C menyala dengan setting powerful selama 10 menit kemudian pindah ke setting normal. Keluar parkiran, naik lift, buka pintu apartemen dan lampu sudah menyala, ruangan sudah adem dan komputer siap digunakan.

Skenario 2: Siang hari, sedang sibuk memasak. Tiba – tiba ada temen parkir di depan rumah, temen yang biasanya datang untuk mengomel panjang lebar tentang segala hal ga penting dan bikin cape. Tanpa melakukan apapun, tirai jendela menutup sendiri, pintu menutup sendiri, bel pintu dimatikan, kalau ada lampu yang menyala langsung dimatikan. Temennya mengebel berkali-kali tapi melihat pintu dan tirai tertutup, dia memutuskan untuk pergi lagi karena berpikir tidak ada orang di rumah

Skenario 3: Malam hari, maling masuk dengan membongkar pintu depan. Begitu pintu dibuka, semua lampu langsung mati. Beberapa lampu mendadak berkedip-kedip dan ada lampu yang menyala redup berwarna merah. TV tiba-tiba menyala dan sosok perempuan berbaju putih berambut panjang muncul di layar TV dan menjerit dengan volume TV maksimal, surround sound Dolby Atmos. Malingnya? Pingsan di tempat.

Ini artikel tentang rumah hantu kah? Bukanlah! Ini website gereja, masa ngomongin rumah hantu? Ngga…ngga…kita mau membahas smart home. Apa sih smart home? Penjelasan singkatnya, smart home itu rumah yang sudah dilengkapi dengan alat-alat (lampu, A/C, kunci pintu dll) yang bisa dikendalikan dari jarak jauh melalui jaringan internet, dilengkapi dengan sensor (sensor kebakaran/banjir, sensor pintu/jendela dll) yang juga bisa mengirimkan kondisi sensor melalui jaringan dan bisa melakukan tugas-tugas secara otomatis tanpa perlu campur tangan pengguna seperti skenario-skenario di atas.

Tertarik membangun smart home? Well, ada beberapa hal yang perlu dipikirkan sebelum membangun smart home, diantaranya yang paling penting adalah memilih antara komersial atau open source. Komersial di sini berarti kita membeli alat-alat yang sudah tersedia di pasaran dan tinggal pasang tanpa perlu pusing. Untuk open source, kita bisa merakit alat-alat tersebut dari nol atau membeli alat yang sudah jadi kemudian firmware bawaan pabrik diganti dengan versi open source yang bisa kita kustomisasi sesuai keinginan. Kita akan bahas keuntungan dan kerugian dari keduanya.

Yang pertama, beli jadi. Keuntungannya? Sangat memudahkan, langsung pakai tanpa harus belajar apa-apa kecuali cara menggunakan aplikasi smartphone yang disertakan dengan alatnya. Tinggal beli, pasang, install aplikasi, gunakan, done! Mau bobo tapi males turun mematikan lampu? Tinggal buka hape, klik, langsung gelap atau redup atau bahkan lampunya berganti warna sesuai selera. Tentu saja, ada beberapa kerugian dari pendekatan ini;

  1. Kemungkinan alat-alat yang dibeli tidak lagi bisa digunakan ketika perusahaan yang memproduksinya bangkrut. Sebenarnya, saat kita membeli alat-alat smart home, harga yang tertera bukan hanya harga alatnya tapi juga termasuk biaya sewa server untuk mengendalikan alat tersebut dari jauh. Kita bisa menyalakan, misalnya lampu, dari jauh karena aplikasi di smartphone kita mengirimkan permintaan menyalakan lampu ke server produsen dan server produsen meneruskan permintaan itu ke lampu di rumah. Tanpa server tersebut, kita tidak bisa menyalakan atau mematikan lampu dari jauh. Ada beberapa merk alat yang tetap bisa kita matikan/nyalakan tanpa melalui server selama kita sendiri terkoneksi dengan wifi di rumah tapi tetap tidak akan bisa diakses dari luar rumah tanpa melalui server. Biasanya, kita tidak perlu lagi membayar biaya sewa tersebut tapi aplikasi yang kita gunakan mungkin memasang iklan atau menawarkan fasilitas berbayar dengan fungsi lebih lengkap. Yang harus diingat adalah saat membeli alat komersial, kita terikat dengan produsen dan servernya. Jadi, ketika produsen bangkrut dan servernya dimatikan, alat-alat yang kita beli bisa jadi tidak bisa digunakan lagi.
  1. Dari segi keamanan, alat yang kita punya beberapa resiko yang harus diperhatikan. Dari segi keamanan data, email/password yang kita gunakan untuk registrasi aplikasi mungkin saja bocor. Ada kemungkinan juga alat yang kita beli, firmwarenya jarang di update dan punya celah keamanan yang bisa dimanfaatkan orang jahat untuk mengakses jaringan rumah kita. Dan ada juga kemungkinan dimana pegawai produsen itu sendiri yang melanggar privasi kita. Ada kasus dimana pegawai produsen kamera CCTV terkoneksi internet ternyata bisa mengakses kamera konsumen dan mengintip video dari CCTV tersebut. (Yes, Amazon’s Ring. I’m looking at you!)
  1. Sulit untuk melakukan kustomisasi. Skenario-skenario yang disebut di awal akan sulit dilakukan jika menggunakan alat siap pakai. Apalagi jika alat-alat yang dibeli berasal dari produsen yang berbeda-beda dengan sistem/aplikasi yang juga berbeda. Sure, kita bisa menyalakan lampu dari jauh tapi mengedip-ngedipkan lampu ketika ada maling masuk, menyalakan TV dan bikin malingnya pingsan? Susah.

Bagaimana dengan pendekatan open source? Kerugiannya yang paling utama tentu saja ribet dan susah, perlu belajar dan mencoba-coba sistem yang baru. Sesulit apa? Ga harus bisa bahasa pemrograman sih, tapi mungkin perlu bisa menyolder apalagi kalau bikin alat dari nol. Keuntungannya? Alat yang kita beli/bikin bisa digunakan sampai lama tanpa tergantung produsen, bisa kita kendalikan sepenuhnya jadi lebih aman dan bisa dikustomisasi sesuai keinginan. Kita juga bukan hanya punya kemampuan untuk mematikan alat dari jauh tapi juga menerima data dari sensor yang kita pasang. Misalnya, kita bisa memasang sensor suhu di rumah, sensor di pintu/jendela untuk mengecek apakah pintu terbuka/tertutup dll. Pertanyaan “Tadi udah matiin kompor/kunci pintu belum ya?” bisa terjawab dengan melihat aplikasi di smartphone tanpa harus putar balik pulang ke rumah.

Apakah skenario-skenario di awal benar-benar bisa direalisasikan? Sebenarnya, skenario skenario di atas bukan hal rumit dan bisa dirakit siapa saja.

Untuk skenario 1 itu saya pakai waktu saya masih tinggal di apartemen dan lumayan berguna ketika pulang malam-malam, ruangan apartemen sudah terang dan dingin begitu pintu dibuka.

Untuk skenario 2, saya ga sampe sesadis itu sampai tutup tirai dan pintu. Tapi, saya memang atur supaya ketika ada tamu yang saya kenal datang dan lokasinya di depan pagar rumah, server di rumah akan mengirimkan pesan ke Telegram di smartphone saya yang isinya nama tamu yang datang.

Skenario ke 3? Huehehe…rahasia ya itu dipasang atau ngga.

Oleh Ming Fat